Foggy Morning, 05:49
Wednesday, 29 January 2014
Saya
baru saja berfikir tentang ego, ego dimana dia menuntut saya untuk membuat
sesuatu untuk aktualisasi diri saya. Contoh simpel, saya membimbing mahasiswa
untuk mencintai bahasa inggris, saya enjoy
melakukan hal itu. Dan ada memang sisi lain dari diri ini minta untuk diakui,
bahwa sayalah yang membimbing mereka, bahwa sayalah yang memotivasi mereka.
Saya baru berfikir, jika pengakuan itu tidak segera ada, saya akan berhenti
melakukan semua pembimbingan ini. Paling tidak itulah sekilas dialog hati saya.
Hari
berikutnya, saya tertegun ketika melihat mereka, anak – anak saya, mahasiswa
latihan. Saya tahu mereka berusaha berbicara dalam bahasa inggris dengan susah
sekali, meskipun mereka terbata – bata, saya appreciate dengan apa yang mereka kerjakan. Saya tahu seharusnya
mereka sedang libur semester, tapi mereka masih semangat datang ke kampus
setiap tiga hari dalam seminggu. Tanpa paksaan, itulah yang tergambar diwajah
mereka. Lama saya menatap mereka dalam diam.
Ego saya
pun menciut, semakin terpojok disudut ruang sempit hati saya, maka saya berkata
kepada sang-ego, “Tidak seharusnya kamu menuntut sesuatu kepadaku. Aku tidak
bodoh untuk mengorbankan semangat mereka hanya untuk menuruti kamu!!!! Dan
tidak akan pernah aku lakukan!!!”
Dan
akhirnya, bergaining ini berakhir.
Dan sayalah pemenangnya. Dan dengan perasaan entheng, saya kembali melihat anak-anak latihan dengan tekun,
berusaha menyisipkan motivasi di setiap pertemuan dengan mereka. Sekali lagi
saya menikmatinya. Semangat mereka ini harus ada yang menjaga, saya tau ini
semua adalah benih yang sedang saya semai, saya harus menjaganya agar tetap
tumbuh, saya harus memupuknya sampai nanti saya panen raya. Maka sebisa mungkin
saya mulai memberi reward atas semangat yang diperlihatkan oleh mereka.
Saya
memiliki impian terselubung yang saya titipkan kepada mereka, saya ingin suatu
saat nanti mereka dapat melihat Indonesia dari luar kotak, melihat Indonesia
dari sudut pandang bereda. Jika selama ini mereka melihat Indonesia dari dalam
karena mereka berada di Indonesia, suatu saat saya ingin mereka melihat
Indonesia dari luar, karena mereka sedang diluar Indonesia. Saya ingin anak –
anak saya berangkat ke luar negeri untuk belajar, dan kembali lagi ke Indonesia
untuk memberikan kisah mereka yang inspiratif kepada semua orang yang mereka temui di
Indonesia, agar akhirnya semua orang terinspirasi. Itulah impian terselubung
saya.
Maka
jika pada akhirnya kemudian saya dikatakan money
oriented karena saya menanyakan surat tugas saya untuk membimbing mereka,
Ego yang telah saya usir itupun dengan pe-de nya datang lagi. Saya yang sudah
berdarah – darah (lebay pol) –karena disebut money oriented- karena ternyata masih harus menghadapi musuh
bebuyutan saya yang ternyata kembali.
Akhirnya
airmata saya runtuh juga, menetes satu – satu juga. Hati saya sakit luar biasa.
Dengan segenap tenaga saya berusaha menjadi pembimbing yang baik, meskipun saya
bukan english lecturer. Akhirnya
terbayang apa yang pernah saya lakukan selama ini, tidak hanya periode ini saya
membimbing mereka, jika saja saya money
oriented, saya tidak akan membelikan mereka reward dari kantong saya
sendiri. Saya tidak akan datang malam – malam ke kampus dan akan meng-klaim kan
lembur.
Bahkan
beberapa tahun sebelumnya saya sudah terjun, melarutkan diri untuk gerilya
mencari bibit yang bisa dibanggakan kelak. Saya sudah memulai dari dulu. Bahkan
untuk sebuah english competition,
saya tidak meminta institusi untuk mendaftarkan mereka, bahkan minta
mendatangkan pelatih pun saya enggan. Saya tidak mau mereka dituntut harus
juara karena kampus sudah mengeluarkan uang banyak untuk pelatih. Maka jika
tuntutan itu yang ada di fikiran mereka, tujuan saya akan sangat terganggu.
Karena tujuan saya adalah mereka tahu jika diluar sana ada banyak hal yang bisa
diraih, saya ingin mereka open minded.
Itu tujuan utama saya. Maka saya memilih memberikan mereka uang untuk mendaftarkan diri
mereka. Saya masih ingat kata-kata saya ketika mereka pamit mau berangkat, “Masalah
juara 1, 2, 3, buat saya itu hanya
sekedar angka yang tidak ada artinya. Yang penting kalian berangkat. Show off, pamer kemampuan disana. Kalian
berangkat saja saya sungguh sudah bangga luar biasa” dan ketika beberapa
jam setelah berangkat mereka mengabarkan dengan meminta maaf kepada saya “Ibu,
Maaf, perjuangan kami hanya sampai di semifinal”. Airmata saya jatuh
mendengar nya, bukan karena airmata kecewa, tapi sungguh airmata haru dan
bangga. Jika saya mau, jika saya money
oriented, saya akan memita bayaran hari itu juga. Meminta reward atas apa yang sudah saya lakukan.
Tapi saya masih waras, masih memiliki pikiran yang jernih.
Saya
sungguh ingin menutup kisah itu, biarlah cukup untuk konsumsi saya dan
mahasiswa yang tahu. Toh waktu itu saya juga tidak minta bayaran uang. Buat
saya apa yang diraih mahasiswa saya
waktu itu adalah bayaran termahal yang pernah saya terima.
Jadi
meskipun saya berdarah –darah, ego tidak boleh menang kali ini. Karena saya
yakin saya akan menerima bayaran yang lebih mahal nanti atas darah saya yang
mengucur deras, sederas airmata saya. Saya memilih bertahan, untuk tetap
bertemu dengan mahasiswa saya, anak – anak saya, berlatih dengan mereka, saya
tidak akan meninggalkan passion saya
teronggok tidak terpakai. Karena tidak semua dapat diukur dengan uang.