A Cloudy Saturday
Morning
February, 8th 2014 06.38 am...
Saya
masih kepikiran soal ujian akir departemen anak yang kemaren diselenggarakan di
ruang tempat saya bekerja, ruang perinatologi rumah sakit. Ujian akhir
departemen adalah ujian berbentuk OSCE yang harus ditempuh mahasiswa
keperawatan yang sedang mengambil
program profesi Ners. Ujian ini dilakukan di ruangan perawatan sesuai dengan
departemen yang disedang dijalani saat itu. Ujian dilakukan langsung kepada
pasien, dengan diuji oleh dua penguji, yaitu penguji lahan dan penguji
institusi.
Cerita
berawal ketika mahasiswa mengontak saya untuk ujian, saya menyetujui ujian pada
hari dimana penguji institusi mereka juga bisa datang, karena sebetulnya
penguji institusi mereka adalah kakak tingkat saya ketika jaman kuliah dulu dan
sekarang sudah seperti kakak sendiri, maka ujian pun dapat segera deal tanggal dan jam nya. Sebagai orang
yang dititipi amanah untuk membimbing program ini, sebisa mungkin saya ingin
menjaga kualitas mahasiswa ketika selesai dari departemen anak. Contoh paling
simpel, saya tidak mau ujian jika penguji institusi tidak datang, dan hanya
diuji oleh penguji lahan. Karena nanti hasilnya tidak menjadi fair. Saya tidak mau kualitas mereka
setelah lulus masih dipertanyakan karena proses – proses yang tidak fair.
Tepat
jam 14.30 ujian dimulai, ada 3 mahasiswa yang saat itu sedang ujian. Alur ujian
yang sudah di plot kan terasa begitu lancar, ketika saya melihat salah satu
mahasiswa terlihat sesak nafasnya, pucat dan keringat dingin memenuhi wajahnya.
There a something not good. saya
tahu, dia sedang sakit, bahkan dia pernah ijin sakit satu hari. Hipertiroid,
begitu diagnosa medis yang divoniskan dokter kepadanya. Dan saya juga tahu jika
dia rutin berobat ke poli endokrin di rumah sakit tk 1 dikota ini.
Saya
akhirnya mendekati dan berkata, “Klo sakit istirahat dulu, gak usah
dipaksakan”. Tapi dengan tersengal dia menjawab “Enggak apa- apa buk, saya bisa
kok”. Dalam hati saya, bisa sih, tapi maksa. Padahal tubuhnya sudah protes sana
– sini. Lihat saja, oksigen yang dibutuhkan tubuhnya selalu kurang, sehingga
dia harus mengambil oksigen lebih sering. Tapi toh akhirnya sang mahasiswa
selseai juga ujian dan berakhir di UGD. Karena saya memaksanya untuk berobat ke UGD. Saya takut
jika terjadi apa –apa –meskipun saya tidak mendoakan-, karena dia ujian di
ruang saya.
Saya
hanya tertegun ketika dia datang dari UGD sambil menyerahkan surat ijin sakit.
Bukan kesehatannya yang dia pikirkan, hal pertama yang keluar dari bibirnya
adalah “Bu, jika besok saya sudah baikan, saya akan masuk”. Saya bengong
didepannya. Spechless.
“Loh, enggak usah, sudah istirahat saja dirumah”,
Tapi dia malah bilang, “Saya mengganti dinas kapan bu???
Saya belum responsi”. Ya Tuhan, mahasiswa
ini........................................
“Sudah, nggak usah difikir. Fokus dulu sama kesehatanmu.
Saya masih disini kok. Saya gak pergi kemana – mana. Berobat dulu sampai
sembuh, selesaikan semua departemen yang tersisa, baru kamu balik ke sini. Saya
tungguin. Kamu itu penerus profesi, harus sehat biar bisa memperjuangkan
profesi kita”. Entah agak lebay atau bagaimana kalimat saya, tiba – tiba dia
bilang “Saya pengen nangis bu”. Saya melongo kembali didepannya.
Saya
kembali terbayang track record nya
selama dia berdinas di ruang perinatologi. Menurut teman – teman perawat, dia
rajin, meskipun sedang sakit, dengan sesak nafas, dengan keringat dingin
mengucur sang mahasiswa dengan semangat memberi minum bayi – bayi yang haus,
mengganti popok mereka. Mengobservasi bayi yang jelek keadaannya. Semua itu dia
lakukan tanpa mengeluh. Kesehatannya yang terganggu tidak dijadikan alasan untuk
tidak ikut melaksanakan pekerjaan rutin berdinasnya. Tidak juga menjadikannya
alasan untuk duduk di kursi dan meletakkan kepala di meja. Apalagi
menjadikannya alasan untuk tidur di gudang pada jam berdinas.
Mahasiswa
satu ini sangat berbeda. Dia melakukan segala hal tanpa mengeluh, meskipun
sakit fisiknya mungkin sudah tak tertahankan. Saya sungguh belajar darinya,
tentang bagaimana semangat itu tetap mengalir. Tentang bagaimana berdamai
dengan keadaan meskipun kadang sesuatu yang kita anggap berat tetap bisa
dilakukan. Semangat yang tetap terpelihara. Saya tahu dia hampir –hampir tidak
kuat, tapi tetap bertahan demi selesainya ujian. Diatas itu semua, dia sedang
belajar mengasah dan membentuk soft skill
nya. Soft skill yang akan dia jadikan
penawaran utama ketika nanti dia lulus. Saya akan bangga padanya ketika suatu
saat dia kembali ke instansi tempat saya bekerja saat ini. Bukan, bukan sebgai
mahasiswa, tapi sebgai teman sejawat. Perawat.
Terima kasih, sudah mengajari saya.