Sebagai tenaga
kesehatan yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di negeri tercinta ini,
saya selalu bersinggungan langsung dengan pasien. Banyak hal yang harus kami
jelaskan kepada mereka tentang program – program pemerintah yang sedang
dijalankan. Mulai dari jaman Jamkesmas, ASKES, Jampersal, Jamkesda hingga
program paling anyar, JKN. Kami selalu menjadi “jubir tidak resmi pemerintah”
untuk mereka para pasien dan keluarga. Sibuk memberikan penjelasan syarat yang
harus dilengkapi ketika mereka mau menggunakan fasilitas JKN, sibuk menjelaskan
hal – hal yang ter-cover oleh program terbaru pemerintah ini. Namun
ada hal yang paling berat yang saya rasakan ketika menjalankan tugas sebagai
jubir ini, adalah ketika kami harus menjelaskan kepada mereka bahwa ada
beberapa tindakan medis atau beberapa obat yang tidak menjadi tanggungan JKN.
Lebih berat lagi ketika kami tahu hal yang tidak tertanggung tersebut adalah
hal yang harus ada, bahkan tidak jarang bahwa tindakan atau obat itu adalah
satu – satunya harapan untuk pasien tersebut. Lalu bagaimana kami harus
menjelaskan semuanya, kadang perasaan empati ini menjadi simpati yang tak
berujung.
Saya bukannya anti
dengan program JKN ini, saya juga tidak pesimis dengan program ini, namun juga
tidak optimis. Sebagai tenaga kesehatan saya hanya menjalankan sembari
mengevaluasi proses nya, meskipun evaluasi saya sebatas sudut pandang yang
tidak seluas sang pembuat kebijakan.
Saya hanya miris,
ketika banyak hal dijanjikan kepada pasien yang berobat, mereka harus membayar
premi setiap bulan dengan janji bahwa semua akan ditanggung oleh pemerintah,
namun pada kenyataannya penanggungan itu selalu dibatasi. Disesuaikan dengan
kelas-kelas yang dipilih. Belum lagi sistem rujukan yang saya rasa banyak error nya.
Beberapa waktu yang
di group WA saya rame membahas tentang JKN. Karena kami adalah para perawat
yang ada di instansi pelayanan kesehatan, maka dengan cepat kami merasa ada
yang belum dapat dilakukan dalam program ini. Akhirnya program ini menjadi
terkesan dipaksakan. Salah satu yang kami bahas di group waktu itu adalah
sistem rujukan. Dengan adanya program ini, pasien tidak dapat langsung berobat
sendiri ke Rumah Sakit Umum Daerah. Sang pasien harus melalui tahap rujukan pertama
, kedua dan selanjutnya. Mereka harus berobat ke PKM terlebih dahulu. Jika saja
penyakit yang diderita sang pasien tidak dapat ditangani oleh PKM, maka barulah
sang pasien dirujuk pada Rumah Sakit tipe B di daerahnya.
Masalah muncul
ketika BPJS, sebagai pihak penanggung, mengeluarkan peraturan bahwa tidak semua
kasus dapat di rujuk ke Rumah Sakit Umum, setidaknya ada sekitar 140 kasus yang
harus dapat di tangani oleh PKM. Padahal, tidak semua PKM memiliki fasilitas
untuk ke 140 kasus yang di tunjuk oleh BPJS. Lalu, bagaimanakah nasib para
pasien?, berobat ke PKM fasilitas tidak ada, kemudian jika nekat ke Rumah Sakit
Umum pasti akan ditolak, karena RSU beranggapan bahwa kasus yang diderita sang
pasien cukup ditangani oleh PKM. Kebijakan macam apa, jika seperti ini. Kemana
sang pasien harus menuntut hak nya yang seharusnya diberikan.
Bayangkan saja, jika
sang pasien adalah pasien dari keluarga pas-pas an yang tidak terjangkau oleh
Jamkesmas –karena pada kenyataannya, program Jamkesmas tidak tepat sasaran-,
sang pasien telah menyisihkan penghasilannya untuk ikut serta dalam proggram
JKN ini. Tapi ketika sang pasien tinggal mendapatkan hak nya, dia tidak tahu
harus memintanya kepada siapa.
Jika seperti ini pelayanan
yang dijanjikan, maka mengapa masyarakat harus ikut program ini. Bahkan pada
tahun 2019 diwajibkan seluruh masyarakat wajib mengikuti program ini. Saya
sanksi jika pelayanan yang diberikan masih seperti ini, maka masyarakat menjadi
tidak memiliki pilihan untuk menjadi sehat.
Mengapa mereka harus
membayar premi setiap bulan jika obat dan tindakan dibatasi?, lebih baik mereka
menabung sendiri, merencanakan sendiri jaminan kesehatannya, sehingga jika pun
nanti mereka sakit, mereka bebas memilih harus pergi kemana untuk memperoleh
pelayanan kesehatan tanpa banyak batasan yang di dapat peserta JKN.
Jadi semakin
semrawut nya program ini, tidak salah ika masyarakat mencari celah enaknya.
Satu kali saya pernah mendengar percakapan keluarga pasien, mereka sedang
membahas tentang JKN. Samar saya mendengar “Oh,
yo gak opo – opo, saiki mbayar selawe ewu, sing penting iso gratis mari iku.
Perkoro wulan ngarep gak mbayar, yo gak opo-opo”
Oh gak apa-apa sekarang bayar dua puluh lima ribu, yang
penting bisa gratis habis ini. Masalah bulan depan tidak membayar ya tidak
apa-apa.
Saya hanya tersenyum mendengar percakapan itu. Mereka
sungguh tidak paham dengan program ini. Seharusnya sang pembuat kebijakan
langsung mendengar hal – hal semacam ini, sehingga tidak lagi menyepelekan yang
namanya sosialisasi.
Atau
percakapan yang saya kutip daricerita seorang teman, dimana dia menjelaskan
program JKN ini kepada mbah nya, sebagai tenaga kesehatan yang baik, teman saya
ingin mbah nya ikut di program ini. Dan kemudia sang mbah menyakan ulang bahwa
dia harus membayar premi setiap bulan, dan teman saya meng iyakan. Tanpa diduga
sang mbah memberikan pertanyaan tambahan yang tidak disangka-sangka.
“Lah mengko lek ora
loro, iso dijupuk tho duite sing dibayarne ben wulan?”
Nanti jika tidak sakit, bisa kan diambil uang yang di
bayarkan setiap bulan itu??
Mbah – mbah yang cerdas.
No comments:
Post a Comment