About Me

My photo
Malang, East Java, Indonesia
love listening to music every morning, reading some books,articles (when having enough time) and watching movies.Enjoy writing short stories, novels, with a cup of cappucino and chocolate. Love the beach very much.

Friday, February 7, 2014

Mahasiswa Ini Mengajari Saya


A Cloudy Saturday Morning
February, 8th 2014 06.38 am...

Saya masih kepikiran soal ujian akir departemen anak yang kemaren diselenggarakan di ruang tempat saya bekerja, ruang perinatologi rumah sakit. Ujian akhir departemen adalah ujian berbentuk OSCE yang harus ditempuh mahasiswa keperawatan yang sedang  mengambil program profesi Ners. Ujian ini dilakukan di ruangan perawatan sesuai dengan departemen yang disedang dijalani saat itu. Ujian dilakukan langsung kepada pasien, dengan diuji oleh dua penguji, yaitu penguji lahan dan penguji institusi.
            Cerita berawal ketika mahasiswa mengontak saya untuk ujian, saya menyetujui ujian pada hari dimana penguji institusi mereka juga bisa datang, karena sebetulnya penguji institusi mereka adalah kakak tingkat saya ketika jaman kuliah dulu dan sekarang sudah seperti kakak sendiri, maka ujian pun dapat segera deal tanggal dan jam nya. Sebagai orang yang dititipi amanah untuk membimbing program ini, sebisa mungkin saya ingin menjaga kualitas mahasiswa ketika selesai dari departemen anak. Contoh paling simpel, saya tidak mau ujian jika penguji institusi tidak datang, dan hanya diuji oleh penguji lahan. Karena nanti hasilnya tidak menjadi fair. Saya tidak mau kualitas mereka setelah lulus masih dipertanyakan karena proses – proses yang tidak fair.
            Tepat jam 14.30 ujian dimulai, ada 3 mahasiswa yang saat itu sedang ujian. Alur ujian yang sudah di plot kan terasa begitu lancar, ketika saya melihat salah satu mahasiswa terlihat sesak nafasnya, pucat dan keringat dingin memenuhi wajahnya. There a something not good. saya tahu, dia sedang sakit, bahkan dia pernah ijin sakit satu hari. Hipertiroid, begitu diagnosa medis yang divoniskan dokter kepadanya. Dan saya juga tahu jika dia rutin berobat ke poli endokrin di rumah sakit tk 1 dikota ini.
Saya akhirnya mendekati dan berkata, “Klo sakit istirahat dulu, gak usah dipaksakan”. Tapi dengan tersengal dia menjawab “Enggak apa- apa buk, saya bisa kok”. Dalam hati saya, bisa sih, tapi maksa. Padahal tubuhnya sudah protes sana – sini. Lihat saja, oksigen yang dibutuhkan tubuhnya selalu kurang, sehingga dia harus mengambil oksigen lebih sering. Tapi toh akhirnya sang mahasiswa selseai juga ujian dan berakhir di UGD. Karena saya  memaksanya untuk berobat ke UGD. Saya takut jika terjadi apa –apa –meskipun saya tidak mendoakan-, karena dia ujian di ruang saya.
Saya hanya tertegun ketika dia datang dari UGD sambil menyerahkan surat ijin sakit. Bukan kesehatannya yang dia pikirkan, hal pertama yang keluar dari bibirnya adalah “Bu, jika besok saya sudah baikan, saya akan masuk”. Saya bengong didepannya. Spechless.
“Loh, enggak usah, sudah istirahat saja dirumah”,
Tapi dia malah bilang, “Saya mengganti dinas kapan bu??? Saya belum responsi”. Ya Tuhan, mahasiswa ini........................................
“Sudah, nggak usah difikir. Fokus dulu sama kesehatanmu. Saya masih disini kok. Saya gak pergi kemana – mana. Berobat dulu sampai sembuh, selesaikan semua departemen yang tersisa, baru kamu balik ke sini. Saya tungguin. Kamu itu penerus profesi, harus sehat biar bisa memperjuangkan profesi kita”. Entah agak lebay atau bagaimana kalimat saya, tiba – tiba dia bilang “Saya pengen nangis bu”. Saya melongo kembali didepannya.
            Saya kembali terbayang track record nya selama dia berdinas di ruang perinatologi. Menurut teman – teman perawat, dia rajin, meskipun sedang sakit, dengan sesak nafas, dengan keringat dingin mengucur sang mahasiswa dengan semangat memberi minum bayi – bayi yang haus, mengganti popok mereka. Mengobservasi bayi yang jelek keadaannya. Semua itu dia lakukan tanpa mengeluh. Kesehatannya yang terganggu tidak dijadikan alasan untuk tidak ikut melaksanakan pekerjaan rutin berdinasnya. Tidak juga menjadikannya alasan untuk duduk di kursi dan meletakkan kepala di meja. Apalagi menjadikannya alasan untuk tidur di gudang pada jam berdinas.
            Mahasiswa satu ini sangat berbeda. Dia melakukan segala hal tanpa mengeluh, meskipun sakit fisiknya mungkin sudah tak tertahankan. Saya sungguh belajar darinya, tentang bagaimana semangat itu tetap mengalir. Tentang bagaimana berdamai dengan keadaan meskipun kadang sesuatu yang kita anggap berat tetap bisa dilakukan. Semangat yang tetap terpelihara. Saya tahu dia hampir –hampir tidak kuat, tapi tetap bertahan demi selesainya ujian. Diatas itu semua, dia sedang belajar mengasah dan membentuk soft skill nya. Soft skill yang akan dia jadikan penawaran utama ketika nanti dia lulus. Saya akan bangga padanya ketika suatu saat dia kembali ke instansi tempat saya bekerja saat ini. Bukan, bukan sebgai mahasiswa, tapi sebgai teman sejawat. Perawat.
Terima kasih, sudah mengajari saya.

Monday, February 3, 2014

Sekali Lagi, Semoga Masyarakat Menjadi Paham


Sebagai tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di negeri tercinta ini, saya selalu bersinggungan langsung dengan pasien. Banyak hal yang harus kami jelaskan kepada mereka tentang program – program pemerintah yang sedang dijalankan. Mulai dari jaman Jamkesmas, ASKES, Jampersal, Jamkesda hingga program paling anyar, JKN. Kami selalu menjadi “jubir tidak resmi pemerintah” untuk mereka para pasien dan keluarga. Sibuk memberikan penjelasan syarat yang harus dilengkapi ketika mereka mau menggunakan fasilitas JKN, sibuk menjelaskan hal – hal yang ter-cover  oleh program terbaru pemerintah ini. Namun ada hal yang paling berat yang saya rasakan ketika menjalankan tugas sebagai jubir ini, adalah ketika kami harus menjelaskan kepada mereka bahwa ada beberapa tindakan medis atau beberapa obat yang tidak menjadi tanggungan JKN. Lebih berat lagi ketika kami tahu hal yang tidak tertanggung tersebut adalah hal yang harus ada, bahkan tidak jarang bahwa tindakan atau obat itu adalah satu – satunya harapan untuk pasien tersebut. Lalu bagaimana kami harus menjelaskan semuanya, kadang perasaan empati ini menjadi simpati yang tak berujung.
Saya bukannya anti dengan program JKN ini, saya juga tidak pesimis dengan program ini, namun juga tidak optimis. Sebagai tenaga kesehatan saya hanya menjalankan sembari mengevaluasi proses nya, meskipun evaluasi saya sebatas sudut pandang yang tidak seluas sang pembuat kebijakan.
Saya hanya miris, ketika banyak hal dijanjikan kepada pasien yang berobat, mereka harus membayar premi setiap bulan dengan janji bahwa semua akan ditanggung oleh pemerintah, namun pada kenyataannya penanggungan itu selalu dibatasi. Disesuaikan dengan kelas-kelas yang dipilih. Belum lagi sistem rujukan yang saya rasa banyak error nya.
Beberapa waktu yang di group WA saya rame membahas tentang JKN. Karena kami adalah para perawat yang ada di instansi pelayanan kesehatan, maka dengan cepat kami merasa ada yang belum dapat dilakukan dalam program ini. Akhirnya program ini menjadi terkesan dipaksakan. Salah satu yang kami bahas di group waktu itu adalah sistem rujukan. Dengan adanya program ini, pasien tidak dapat langsung berobat sendiri ke Rumah Sakit Umum Daerah. Sang pasien harus melalui tahap rujukan pertama , kedua dan selanjutnya. Mereka harus berobat ke PKM terlebih dahulu. Jika saja penyakit yang diderita sang pasien tidak dapat ditangani oleh PKM, maka barulah sang pasien dirujuk pada Rumah Sakit tipe B di daerahnya.
Masalah muncul ketika BPJS, sebagai pihak penanggung, mengeluarkan peraturan bahwa tidak semua kasus dapat di rujuk ke Rumah Sakit Umum, setidaknya ada sekitar 140 kasus yang harus dapat di tangani oleh PKM. Padahal, tidak semua PKM memiliki fasilitas untuk ke 140 kasus yang di tunjuk oleh BPJS. Lalu, bagaimanakah nasib para pasien?, berobat ke PKM fasilitas tidak ada, kemudian jika nekat ke Rumah Sakit Umum pasti akan ditolak, karena RSU beranggapan bahwa kasus yang diderita sang pasien cukup ditangani oleh PKM. Kebijakan macam apa, jika seperti ini. Kemana sang pasien harus menuntut hak nya yang seharusnya diberikan.
Bayangkan saja, jika sang pasien adalah pasien dari keluarga pas-pas an yang tidak terjangkau oleh Jamkesmas –karena pada kenyataannya, program Jamkesmas tidak tepat sasaran-, sang pasien telah menyisihkan penghasilannya untuk ikut serta dalam proggram JKN ini. Tapi ketika sang pasien tinggal mendapatkan hak nya, dia tidak tahu harus memintanya kepada siapa.
Jika seperti ini pelayanan yang dijanjikan, maka mengapa masyarakat harus ikut program ini. Bahkan pada tahun 2019 diwajibkan seluruh masyarakat wajib mengikuti program ini. Saya sanksi jika pelayanan yang diberikan masih seperti ini, maka masyarakat menjadi tidak memiliki pilihan untuk menjadi sehat.
Mengapa mereka harus membayar premi setiap bulan jika obat dan tindakan dibatasi?, lebih baik mereka menabung sendiri, merencanakan sendiri jaminan kesehatannya, sehingga jika pun nanti mereka sakit, mereka bebas memilih harus pergi kemana untuk memperoleh pelayanan kesehatan tanpa banyak batasan yang di dapat peserta JKN.
Jadi semakin semrawut nya program ini, tidak salah ika masyarakat mencari celah enaknya. Satu kali saya pernah mendengar percakapan keluarga pasien, mereka sedang membahas tentang JKN. Samar saya mendengar “Oh, yo gak opo – opo, saiki mbayar selawe ewu, sing penting iso gratis mari iku. Perkoro wulan ngarep gak mbayar, yo gak opo-opo”
Oh gak apa-apa sekarang bayar dua puluh lima ribu, yang penting bisa gratis habis ini. Masalah bulan depan tidak membayar ya tidak apa-apa.
Saya hanya tersenyum mendengar percakapan itu. Mereka sungguh tidak paham dengan program ini. Seharusnya sang pembuat kebijakan langsung mendengar hal – hal semacam ini, sehingga tidak lagi menyepelekan yang namanya sosialisasi.
            Atau percakapan yang saya kutip daricerita seorang teman, dimana dia menjelaskan program JKN ini kepada mbah nya, sebagai tenaga kesehatan yang baik, teman saya ingin mbah nya ikut di program ini. Dan kemudia sang mbah menyakan ulang bahwa dia harus membayar premi setiap bulan, dan teman saya meng iyakan. Tanpa diduga sang mbah memberikan pertanyaan tambahan yang tidak disangka-sangka.
Lah mengko lek ora loro, iso dijupuk tho duite sing dibayarne ben wulan?”
Nanti jika tidak sakit, bisa kan diambil uang yang di bayarkan setiap bulan itu??
Mbah – mbah yang cerdas.