About Me

My photo
Malang, East Java, Indonesia
love listening to music every morning, reading some books,articles (when having enough time) and watching movies.Enjoy writing short stories, novels, with a cup of cappucino and chocolate. Love the beach very much.

Wednesday, February 18, 2015

Sampai Kamu Kembali



“Maaf mbak, tiketnya enggak bisa di tukar”, aku lemas di depan counter depan salah satu maskapai penerbangan nasional.
“Oke, terima kasih..”
Aku melangkah lemas kearah Ardi yang menungguiku di ruang tunggu.
“Kamu enggak harus kayak begini. Berangkatlah......”, aku memandang Ardi penuh protes. Bagaimana aku akan pergi tanpa dia. Aku pergi ke Sydney, ok fine demi karirku, demi cita – citaku. Tapi apa, aku akan berjauhan lagi dengannya.
“Kamu rela kita pisah. Lagi ?”, aku menatapnya tidak percaya.
“Ya mau bagaimana?, aku tahu itu cita – cita kamu. Jauh dari sebelum aku berangkat ke Jerman. Dan jika memang kesempatan itu datangnya sekarang, aku tidak bisa egois melarangmu untuk pergi. So what you thinking...?”,
Iya memang benar kamu tidak egois,
“Aku takut kamu.............”
“Takut aku akan berpaling ? takut aku akan meninggalkan kamu jika kamu kembali ?. takut aku tidak setia?”, kata – kata Ardi cukup menhunjam hatiku. Wajar kan aku takut?.
Ardi meraih tanganku, menyelipkan rambutku, “Don’t worry about that. Aku masih ingat waktu kamu juga masih nunggu aku saat aku di Jerman. Aku inget banget, enggak usah di refresh. Aku akan lakuin hal yang sama, sampai kamu kembali, pulang”

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis

Halte



Pandanganku masih tertuju pada bus kota yang sedang berjalan perlahan di depanku. Hujanpun masih setia menyapa kota ini. basah.
Beberapa orang yang masih setia menggunakan transportasi umum sepertikumasih juga menunggu hujan behenti, atau ebih tepatnya menunggu angkutan yang mengarah ke rumahnya. Termasuk aku. Semakin sore, para pengguna angkutan umum ini semakin bertambah banyak saja. Ditambah dengan hujan rintik yang tidak berhenti sedari tadi siang, menambah nelangsa saja.
Aku kembali mengarahkan pandangan mengintai ke ujung jalan, berharap angkutan ku segera muncul. Badanku sudah sangat capek dan ingin segera rasanya berbaring di kamar kos.
“Mbak naek GA?”,
Aku menoleh pada seorang laki – laki yang berada di sampingku.
“Iya mas.........”
“Saya ikut ya, mau turun terminal, tapi belum pernah naik GA..”
“Oh, iya. Ntar barengan saya aja........”
Aku memandang sejenak lelaki ini. Memang wajahnya terlihat asing di halte ini. Aku sangat hafal dengan orang-orang yang berada di halte ini sepulang mereka kerja. Tapi orang ini sangat tidak familiar.
“Terima kasih mbak..."
“Sama – sama, mas nya dari mana mau kemana?”,
“Saya dari tempat teman sekarang mau pulang mbak. Saya tinggal di Surabaya”, oh. Aku tersenyum, hari ini I'm not the only one who catching GA for ride home.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis

Tuesday, February 17, 2015

Selembar Kertas Kucel



Aku hanya menatap lembaran kertas yang penuh dengan coretan tanganku. Meremasnya dan  mengalihkan pandangan kebawah jendela kelasku. Aku adalah mahasiswa tingkat akhir disalah satu kampus swasta di Jakarta.
“Elo kenapa Ty?”, aku menoleh. Ada Firman sedang berdiri sembari membawa banyak buku text. Aku menunggu Firman duduk di sebelahku.
“Enggak apa – apa. Gue enggak yakin aja, bener enggak sih, nih kertas bisa bikin kita sukses suatu saat nanti?”, ujarku sembari menunjukkan kertas kucelyang ada di genggaman tanganku.
Firman tersenyum. “Gue yakin banget.....!”,
Itu adalah penggalan kisahku ketika aku kuliah dengan banyak tugas, banyak paper yang musti diselesaikan dengan cepat. Sempat aku meragukan impian yang telah aku bangun bersama sahabat – sahabatku, macam Firman. Keinginan untuk menakhlukkan dunia.
Aku kembali tersnyum, ketika aku sadar, posisiku sekarang, posisi yang sama dengan impian yang tercanangkan lima tahun yang lalu.
“Elo bener Fir............”, aku hanya berbisik, berbisik kepada diriku sendiri.
Sekarang memang semua terasa telah berbeda, dan masing – masing kita memiliki jalan yang berbeda. Memiliki cita – cita yang sama namun jalannya yang berbeda. Tiba – tiba saja kertas kucel penuh coretan tangan yang aku pegang lima tahu yang lalu kembali terngiang.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program Simulasi Kompetisi Menulis berhadiah 2 tiket PP+ voucher menginap di hotel berbintang BALI dari www.nulisbuku.com dan www.tiket.com

meskipun tidak saling memandang



Entah sudah berapa banyak cerita, kisah cinta yang terjadi di dunia ini. Kenapa semuanya musti tentang cinta, kenapa semuanya harus tentang rasa yang katanya pasti dimiliki oleh seluruh makhluk di alam ini ?. aku percaya akan kekuatan cinta, kekuatan yang sudah di tunjukkan, telah dibuktikan dalam mengubah dunia. Dan aku percaya dengan ikatan hati yang, sekali lagi katanya, terjalin pada sepasang orang yang memang saling mencintai. Meskipun sepasang makhluk ini tidak sedang bersama dalam satu tempat dan waktu.
Dan seperti itulah aku saat ini, menyendiri di kamarku yang sepi. Malam semakin larut. Entah mengapa malam ini aku menjadi mellow. Aku hanya ingat pada mas Bagas, mantan kekasihku yang masih saja aku cintai sampai saat ini. Tiba – tiba saja malam ini aku sangat merindukannya. Entahlah. Akupun tidak mengerti alasannya. Kangen saja. That’s it.
Airmataku meleleh tanpa bisa aku menahannya. Aku tidak tahu juga mengapa airmata ini mengalir. Sumpah, aku tidak bisa menjelaskan mengapa aku selalu menangis ketika aku merasakan rindu yang luar biasa kepadanya. Rindu, rindu dan rindu.
“Kalau kamu juga merasakan rindu yang sama denganku, tolong telpon aku, please...”, aku bergumam sendiri, tidak kepada siapapun. Jelas kepada mas Bagas yang dalam imajinasiku ada di hadapanku. Aku sangat menginginkan suaranya terdengar malam ini.
 “Kamu apa kabar?”,
Aku menatap layar ponselku yang menunjukkan kalimat yang sangat aku kenal jenisnya. Is it really?, benarkah ikatan hati itu memang ada. Meskipun kedua individu itu tidak saling memandang secara langsung?, meskipun mereka saling berjauhan?

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program Simulasi Kompetisi Menulis berhadiah 2 tiket PP+ voucher menginap di hotel berbintang BALI dari www.nulisbuku.com dan www.tiket.com

Wednesday, February 4, 2015

Take me with you



Take me with you

Aku mencari – cari sosok mas Danu di Bandara Juanda. Aku baru landing dari Makasar setelah 2 minggu pelatihan K3 Nasional yang diikuti seluruh departement K3 semua Rumah Sakit Umum Daerah se – Indonesia. Padahal besok aku mengikuti prosesi akad nikah dengan mas Danu. Senyumku terkembang ketika kulihat sosok mas Danu ada di ruang tunggu. Aku segera menuju kearahnya dan mencium tangannya.
“Lapar gak...???”, tanyanya.
“Sendirian mas....??”,
“Iya, tamunya Ibu banyak banget, adek sibuk nyiapin pedangpora, jadi yang jemput tuan puteri aku”, aku cemberut. Aku tahu mas Danu sudah uring – uringan sejak awal keberangkatanku ke Makasar.
“Iya maaf ya, gak bisa bantuin apa – apa.....”
“Lapar gak, klo gak lapar kita langsung pulang, udah malam biar cepet nyampe rumahnya”.
Aku hanya mengikuti langkahnya yang terkesan tergesa. Duh gusti, harusnya kami tidak lagi ada di jalanan malam ini, harusnya aku dan mas Danu menikmati hari- hari menjelang melepas masa lajang, bersama keluarga, menyalami tamu yang  hadir.
“Lapar gak....?”, ulangnya setelah sampai di parkiran Juanda.
“Gak....,”, jawabku hampir tak terdengar.
Kami segera melaju di jalanan Surabaya yang padat. Bergabung dengan suasana deru mesin kendaraan yang tiada henti.
“Heran deh, kenapa sih gak boleh ijin, padahal sudah mau menikah, susah banget..”, ku dengar mas Danu menggerutu di balik kemudi.
“Karena hanya aku yang qualified mas....”
“Tapi kan harus tau waktu juga, gak bisa seenaknya kayak begini.......”
Lha....??? kok diterusin ya....Aku hanya bisa memandangnya dalam diam.
“Instansi sipil tapi komitmen melebihi militer...”, Ketusnya.
“Klo capek. Harusnya yang jemput orang lain aja, atau aku bisa naek taxi.....gak harus mas yang berangkat ke Surabaya...”
“Bukan masalah jemput, tapi masalah peraturan di tempat kerjamu...”
“Setiap instansi punya peraturan sendiri – sendiri. Aku gak protes kok mas mau pergi ke Afganistan 1 hari setelah kita menikah....” Aku keluarkan juga keluh kesah yang selama ini sebenarnya aku pendam. Pandanganku tetap lurus ke depan. Kurasakan mas Danu memandangku dan menghentikan laju mobil dan menepi, hmmmmmmm........persiapan perang beneran nih.
“Oke....jadi kamu belum bisa menerima seluruh konsekuensi dari pkerjaanku??. Baik sebelum semuanya terlanjur, sebelum kita akad nikah besok hakmu putuskan sekarang, mau lanjut atau tidak.”
Aku menghela nafas. Dengan ogah – ogahan aku memandangnya.
“Susah  ngomong sama orang emosi, aku gak mau bahas. Sudah.......”
Ku dengar mas Danu menghela nafas panjang, aku cukup tahu bahwa dia sangat kesal.
“Hmmm ku kira kamu sudah siap .......”, ujarnya sembari menatap jalanan.
“Aku siap,...........”
“Tapi kamu bawa – bawa dinasku di Afganistan.............”, kami berbicara tanpa menatap satu sama lain,, hanya terdiam di jok mobil sembari menatap lurus ke depan.
“Aku hanya ingin mas Danu mengerti, aku sudah berusaha mengerti mas Danu, bahkan ketika setelah menikah mas harus pergi. Aku siap mas. Tapi mas juga harus belajar mengerti pekerjaanku juga, bukankah begitu yang namanya saling memahami..........”, tidak tahan juga aku menangis membayangkan mas Danu di Afganistan yang penuh konflik itu, ya Tuhan..........
Detik berikutnya aku sudah berada di dekapannya. Damai segera mengisi hatiku.
“Don’t go.....take me with you......”, ujarku sesenggukan di dadanya.
“Kamu sudah janji gak akan nangis....remember that....???”, ujarnya sembari membelai rambutku.
Kata – kata mas Danu justru membuatku semakin sesenggukan, menangis. Hingga beberapa menit berlalu, mas Danu memegang wajahku,  mengambil tisu dan tersenyum.
 “Sudah ah nangisnya........”, ujarnya sembari tangan kirinya berusaha mengusap airmataku. Aku meraih tangannya dan menciumnya lama. Mas Danu kembali menghentikan mobilnya dan segera mendekapku lagi.
“Kamu kenapa sih sayang.............”, nada bicara mas Danu mulai kawatir.
Damai memang, aku menangis karena damai ini segera pergi setelah besok hari, meski hanya untuk sementara.
“Oke, aku sudah minta maaf kan....??? biasanya kan sudah....”,
Aku hanya tidak bisa membayangkan mas Danu berangkat.....
“Honey..................”,
Mas Danu segera mendekapku kembali.
“Take me with you........................”, ujarku terisak. Aku belum bisa  membayangkan dia pergi.
“Honey....sayang. Sudah ya.........”
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @Nulisbuku