About Me

My photo
Malang, East Java, Indonesia
love listening to music every morning, reading some books,articles (when having enough time) and watching movies.Enjoy writing short stories, novels, with a cup of cappucino and chocolate. Love the beach very much.

Thursday, December 11, 2014


Bromo with love

“El, ini lo handle ya yang klien ke Bromo.....”, Indi masuk ke ruanganku sembari membawa setumpuk berkas.
“Yang mana In..?”, tanyaku sembari memandangnya dari balik layar laptopku.
“Yang tujuh orang dari Jakarta, yang mau naik weekend ini...”,aku mengernyitkan dahi dan berusaha mengingat – ingat. Karena selama seminggu ini perusahaan tour and travel yang tempat ku bekerja sebagai owner in kebanjiran order gila – gilaan.
“Yang mana sih In.......?,”
“Aduh yang transfernya atas nama Anto itu tuh........”,
Oh, baru aku inget. Let’s me explain, dalam satu minggu kemaren tenagaku dibuat habis hanya untuk mengurusi paket tour nya si yang bernama Anto and the gank nya itu. Yang permintaannya ribet banget ngalah – ngalahin artis aja.
“Oh, si Anto. Lah kan udah transfer In......?, di handle apanya lagi?, mau minta apa lagi dia?. Masih bawel aja?, kalau masih cerewet minta ini – itu yang enggak ada dipaket kita, batalin aja. Udah males banget gue berurusan sama gank nya mereka”,
Indi menghela nafas, Indi adalah sahabatku yang paling rasional. Jadi karena saking rasionalnya dia akhirnya beginilah kalimat yang keluar dari mulut Indi.
“Elsa, kita gak boleh maen kasar  sama klien. Ya semua kan bisa di komunikasikan udah ya, weekend ini elu nemenin si Anto ke Bromo,”
Aku sudah pasti tuli aja mendengar kata-kata Indi barusan.
“Lah kok gue In.........”
“Mau siapa lagi.......?”
Kini aku lihat Indi mulai menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Elu boleh sebel sama kelompoknya mereka, but you have no choice. Grow up and be a profesional. Andi udah ke Lombok, Femi udah ke Thailand. Diko elu tahu udah di Aussy sejak dua hari yang lalu..”
Gila aja nih, manager satu ini. nyuruhnya gak tanggung tanggung. Kenapa musti aku coba yang disruruh. Pengalaman menangani ordernya dia aja aku udah pengen throw up. Ini malah disuruh nemenin langsung. And I know, I have no choice.

Aku hanya terpaku di depan rubicon.
“Elo Jakarta mana El......?, gila aja gue nemu orang kayak elo yang rela ninggalin Jakarta demi buka Tour Consultant di Malang....”, Anto si cerewet ini bertanya padaku sembari menyeruut kopi hangatnya.
“Lenteng Agung. Enak kali hidup di Malang. Buktinya elo rela aja kan kesini?, buat apa coba?, vacation kan..?. See...?, what is suppouse to mean Anto?”, aku melemparkan kata – kataku yang aku harapkan menohok si arogan, cerewet dan bawel ini.
Anto hanya tersenyum tipis sembari memandangku sebentar dan mengalihkan pandangannya ke padang pasir di depannya.
Yes I did El, I’m on my vacation now. But it’s only for a while......”, ujarnya  membuatku memandang wajahnya yang tergambar angkuh didepanku.
“Hmmm...got it An, for a while...”, aku hanya meliriknya. Sumpah nih orang sombong banget deh. Anto yang sedang duduk di sampingku spontan mengalihkan pandangannya kepadaku.
Dan aku tetap cuek dengan menatap hamparan pasir didepanku. Adegan ini terjadi selama hampir lima menit, dan membuatku risih. Akhirnya aku menoleh, memandang wajah sengak di depanku ini. Apa sih mau nya..?, bawel dari pertama telpon ke Tour Consultant tempatku bekerja, dengan segala kecerewetannya.
But, wait...........ini kenapa malah mataku bertatapan dengan matanya lama. Sebenarnya ini wajah juga lumayan kalau kecerewetannya berkurang.
“Hmm...Sorry El”, Anto buru – buru mengalishkan pandangannya dari wajahku, dan aku spontan menunduk, “Yup...........”,
Is this, the love at the first sign..??

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @Nulisbuku

Friday, February 7, 2014

Mahasiswa Ini Mengajari Saya


A Cloudy Saturday Morning
February, 8th 2014 06.38 am...

Saya masih kepikiran soal ujian akir departemen anak yang kemaren diselenggarakan di ruang tempat saya bekerja, ruang perinatologi rumah sakit. Ujian akhir departemen adalah ujian berbentuk OSCE yang harus ditempuh mahasiswa keperawatan yang sedang  mengambil program profesi Ners. Ujian ini dilakukan di ruangan perawatan sesuai dengan departemen yang disedang dijalani saat itu. Ujian dilakukan langsung kepada pasien, dengan diuji oleh dua penguji, yaitu penguji lahan dan penguji institusi.
            Cerita berawal ketika mahasiswa mengontak saya untuk ujian, saya menyetujui ujian pada hari dimana penguji institusi mereka juga bisa datang, karena sebetulnya penguji institusi mereka adalah kakak tingkat saya ketika jaman kuliah dulu dan sekarang sudah seperti kakak sendiri, maka ujian pun dapat segera deal tanggal dan jam nya. Sebagai orang yang dititipi amanah untuk membimbing program ini, sebisa mungkin saya ingin menjaga kualitas mahasiswa ketika selesai dari departemen anak. Contoh paling simpel, saya tidak mau ujian jika penguji institusi tidak datang, dan hanya diuji oleh penguji lahan. Karena nanti hasilnya tidak menjadi fair. Saya tidak mau kualitas mereka setelah lulus masih dipertanyakan karena proses – proses yang tidak fair.
            Tepat jam 14.30 ujian dimulai, ada 3 mahasiswa yang saat itu sedang ujian. Alur ujian yang sudah di plot kan terasa begitu lancar, ketika saya melihat salah satu mahasiswa terlihat sesak nafasnya, pucat dan keringat dingin memenuhi wajahnya. There a something not good. saya tahu, dia sedang sakit, bahkan dia pernah ijin sakit satu hari. Hipertiroid, begitu diagnosa medis yang divoniskan dokter kepadanya. Dan saya juga tahu jika dia rutin berobat ke poli endokrin di rumah sakit tk 1 dikota ini.
Saya akhirnya mendekati dan berkata, “Klo sakit istirahat dulu, gak usah dipaksakan”. Tapi dengan tersengal dia menjawab “Enggak apa- apa buk, saya bisa kok”. Dalam hati saya, bisa sih, tapi maksa. Padahal tubuhnya sudah protes sana – sini. Lihat saja, oksigen yang dibutuhkan tubuhnya selalu kurang, sehingga dia harus mengambil oksigen lebih sering. Tapi toh akhirnya sang mahasiswa selseai juga ujian dan berakhir di UGD. Karena saya  memaksanya untuk berobat ke UGD. Saya takut jika terjadi apa –apa –meskipun saya tidak mendoakan-, karena dia ujian di ruang saya.
Saya hanya tertegun ketika dia datang dari UGD sambil menyerahkan surat ijin sakit. Bukan kesehatannya yang dia pikirkan, hal pertama yang keluar dari bibirnya adalah “Bu, jika besok saya sudah baikan, saya akan masuk”. Saya bengong didepannya. Spechless.
“Loh, enggak usah, sudah istirahat saja dirumah”,
Tapi dia malah bilang, “Saya mengganti dinas kapan bu??? Saya belum responsi”. Ya Tuhan, mahasiswa ini........................................
“Sudah, nggak usah difikir. Fokus dulu sama kesehatanmu. Saya masih disini kok. Saya gak pergi kemana – mana. Berobat dulu sampai sembuh, selesaikan semua departemen yang tersisa, baru kamu balik ke sini. Saya tungguin. Kamu itu penerus profesi, harus sehat biar bisa memperjuangkan profesi kita”. Entah agak lebay atau bagaimana kalimat saya, tiba – tiba dia bilang “Saya pengen nangis bu”. Saya melongo kembali didepannya.
            Saya kembali terbayang track record nya selama dia berdinas di ruang perinatologi. Menurut teman – teman perawat, dia rajin, meskipun sedang sakit, dengan sesak nafas, dengan keringat dingin mengucur sang mahasiswa dengan semangat memberi minum bayi – bayi yang haus, mengganti popok mereka. Mengobservasi bayi yang jelek keadaannya. Semua itu dia lakukan tanpa mengeluh. Kesehatannya yang terganggu tidak dijadikan alasan untuk tidak ikut melaksanakan pekerjaan rutin berdinasnya. Tidak juga menjadikannya alasan untuk duduk di kursi dan meletakkan kepala di meja. Apalagi menjadikannya alasan untuk tidur di gudang pada jam berdinas.
            Mahasiswa satu ini sangat berbeda. Dia melakukan segala hal tanpa mengeluh, meskipun sakit fisiknya mungkin sudah tak tertahankan. Saya sungguh belajar darinya, tentang bagaimana semangat itu tetap mengalir. Tentang bagaimana berdamai dengan keadaan meskipun kadang sesuatu yang kita anggap berat tetap bisa dilakukan. Semangat yang tetap terpelihara. Saya tahu dia hampir –hampir tidak kuat, tapi tetap bertahan demi selesainya ujian. Diatas itu semua, dia sedang belajar mengasah dan membentuk soft skill nya. Soft skill yang akan dia jadikan penawaran utama ketika nanti dia lulus. Saya akan bangga padanya ketika suatu saat dia kembali ke instansi tempat saya bekerja saat ini. Bukan, bukan sebgai mahasiswa, tapi sebgai teman sejawat. Perawat.
Terima kasih, sudah mengajari saya.

Monday, February 3, 2014

Sekali Lagi, Semoga Masyarakat Menjadi Paham


Sebagai tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di negeri tercinta ini, saya selalu bersinggungan langsung dengan pasien. Banyak hal yang harus kami jelaskan kepada mereka tentang program – program pemerintah yang sedang dijalankan. Mulai dari jaman Jamkesmas, ASKES, Jampersal, Jamkesda hingga program paling anyar, JKN. Kami selalu menjadi “jubir tidak resmi pemerintah” untuk mereka para pasien dan keluarga. Sibuk memberikan penjelasan syarat yang harus dilengkapi ketika mereka mau menggunakan fasilitas JKN, sibuk menjelaskan hal – hal yang ter-cover  oleh program terbaru pemerintah ini. Namun ada hal yang paling berat yang saya rasakan ketika menjalankan tugas sebagai jubir ini, adalah ketika kami harus menjelaskan kepada mereka bahwa ada beberapa tindakan medis atau beberapa obat yang tidak menjadi tanggungan JKN. Lebih berat lagi ketika kami tahu hal yang tidak tertanggung tersebut adalah hal yang harus ada, bahkan tidak jarang bahwa tindakan atau obat itu adalah satu – satunya harapan untuk pasien tersebut. Lalu bagaimana kami harus menjelaskan semuanya, kadang perasaan empati ini menjadi simpati yang tak berujung.
Saya bukannya anti dengan program JKN ini, saya juga tidak pesimis dengan program ini, namun juga tidak optimis. Sebagai tenaga kesehatan saya hanya menjalankan sembari mengevaluasi proses nya, meskipun evaluasi saya sebatas sudut pandang yang tidak seluas sang pembuat kebijakan.
Saya hanya miris, ketika banyak hal dijanjikan kepada pasien yang berobat, mereka harus membayar premi setiap bulan dengan janji bahwa semua akan ditanggung oleh pemerintah, namun pada kenyataannya penanggungan itu selalu dibatasi. Disesuaikan dengan kelas-kelas yang dipilih. Belum lagi sistem rujukan yang saya rasa banyak error nya.
Beberapa waktu yang di group WA saya rame membahas tentang JKN. Karena kami adalah para perawat yang ada di instansi pelayanan kesehatan, maka dengan cepat kami merasa ada yang belum dapat dilakukan dalam program ini. Akhirnya program ini menjadi terkesan dipaksakan. Salah satu yang kami bahas di group waktu itu adalah sistem rujukan. Dengan adanya program ini, pasien tidak dapat langsung berobat sendiri ke Rumah Sakit Umum Daerah. Sang pasien harus melalui tahap rujukan pertama , kedua dan selanjutnya. Mereka harus berobat ke PKM terlebih dahulu. Jika saja penyakit yang diderita sang pasien tidak dapat ditangani oleh PKM, maka barulah sang pasien dirujuk pada Rumah Sakit tipe B di daerahnya.
Masalah muncul ketika BPJS, sebagai pihak penanggung, mengeluarkan peraturan bahwa tidak semua kasus dapat di rujuk ke Rumah Sakit Umum, setidaknya ada sekitar 140 kasus yang harus dapat di tangani oleh PKM. Padahal, tidak semua PKM memiliki fasilitas untuk ke 140 kasus yang di tunjuk oleh BPJS. Lalu, bagaimanakah nasib para pasien?, berobat ke PKM fasilitas tidak ada, kemudian jika nekat ke Rumah Sakit Umum pasti akan ditolak, karena RSU beranggapan bahwa kasus yang diderita sang pasien cukup ditangani oleh PKM. Kebijakan macam apa, jika seperti ini. Kemana sang pasien harus menuntut hak nya yang seharusnya diberikan.
Bayangkan saja, jika sang pasien adalah pasien dari keluarga pas-pas an yang tidak terjangkau oleh Jamkesmas –karena pada kenyataannya, program Jamkesmas tidak tepat sasaran-, sang pasien telah menyisihkan penghasilannya untuk ikut serta dalam proggram JKN ini. Tapi ketika sang pasien tinggal mendapatkan hak nya, dia tidak tahu harus memintanya kepada siapa.
Jika seperti ini pelayanan yang dijanjikan, maka mengapa masyarakat harus ikut program ini. Bahkan pada tahun 2019 diwajibkan seluruh masyarakat wajib mengikuti program ini. Saya sanksi jika pelayanan yang diberikan masih seperti ini, maka masyarakat menjadi tidak memiliki pilihan untuk menjadi sehat.
Mengapa mereka harus membayar premi setiap bulan jika obat dan tindakan dibatasi?, lebih baik mereka menabung sendiri, merencanakan sendiri jaminan kesehatannya, sehingga jika pun nanti mereka sakit, mereka bebas memilih harus pergi kemana untuk memperoleh pelayanan kesehatan tanpa banyak batasan yang di dapat peserta JKN.
Jadi semakin semrawut nya program ini, tidak salah ika masyarakat mencari celah enaknya. Satu kali saya pernah mendengar percakapan keluarga pasien, mereka sedang membahas tentang JKN. Samar saya mendengar “Oh, yo gak opo – opo, saiki mbayar selawe ewu, sing penting iso gratis mari iku. Perkoro wulan ngarep gak mbayar, yo gak opo-opo”
Oh gak apa-apa sekarang bayar dua puluh lima ribu, yang penting bisa gratis habis ini. Masalah bulan depan tidak membayar ya tidak apa-apa.
Saya hanya tersenyum mendengar percakapan itu. Mereka sungguh tidak paham dengan program ini. Seharusnya sang pembuat kebijakan langsung mendengar hal – hal semacam ini, sehingga tidak lagi menyepelekan yang namanya sosialisasi.
            Atau percakapan yang saya kutip daricerita seorang teman, dimana dia menjelaskan program JKN ini kepada mbah nya, sebagai tenaga kesehatan yang baik, teman saya ingin mbah nya ikut di program ini. Dan kemudia sang mbah menyakan ulang bahwa dia harus membayar premi setiap bulan, dan teman saya meng iyakan. Tanpa diduga sang mbah memberikan pertanyaan tambahan yang tidak disangka-sangka.
Lah mengko lek ora loro, iso dijupuk tho duite sing dibayarne ben wulan?”
Nanti jika tidak sakit, bisa kan diambil uang yang di bayarkan setiap bulan itu??
Mbah – mbah yang cerdas.

Tuesday, January 28, 2014

Bayaran Termahal Yang Pernah Saya Terima


Foggy Morning, 05:49
Wednesday, 29 January 2014

            Saya baru saja berfikir tentang ego, ego dimana dia menuntut saya untuk membuat sesuatu untuk aktualisasi diri saya. Contoh simpel, saya membimbing mahasiswa untuk mencintai bahasa inggris, saya enjoy melakukan hal itu. Dan ada memang sisi lain dari diri ini minta untuk diakui, bahwa sayalah yang membimbing mereka, bahwa sayalah yang memotivasi mereka. Saya baru berfikir, jika pengakuan itu tidak segera ada, saya akan berhenti melakukan semua pembimbingan ini. Paling tidak itulah sekilas dialog hati saya.
            Hari berikutnya, saya tertegun ketika melihat mereka, anak – anak saya, mahasiswa latihan. Saya tahu mereka berusaha berbicara dalam bahasa inggris dengan susah sekali, meskipun mereka terbata – bata, saya appreciate dengan apa yang mereka kerjakan. Saya tahu seharusnya mereka sedang libur semester, tapi mereka masih semangat datang ke kampus setiap tiga hari dalam seminggu. Tanpa paksaan, itulah yang tergambar diwajah mereka. Lama saya menatap mereka dalam diam.
            Ego saya pun menciut, semakin terpojok disudut ruang sempit hati saya, maka saya berkata kepada sang-ego, “Tidak seharusnya kamu menuntut sesuatu kepadaku. Aku tidak bodoh untuk mengorbankan semangat mereka hanya untuk menuruti kamu!!!! Dan tidak akan pernah aku lakukan!!!”
Dan akhirnya, bergaining ini berakhir. Dan sayalah pemenangnya. Dan dengan perasaan entheng, saya kembali melihat anak-anak latihan dengan tekun, berusaha menyisipkan motivasi di setiap pertemuan dengan mereka. Sekali lagi saya menikmatinya. Semangat mereka ini harus ada yang menjaga, saya tau ini semua adalah benih yang sedang saya semai, saya harus menjaganya agar tetap tumbuh, saya harus memupuknya sampai nanti saya panen raya. Maka sebisa mungkin saya mulai memberi reward atas semangat yang diperlihatkan oleh mereka.
            Saya memiliki impian terselubung yang saya titipkan kepada mereka, saya ingin suatu saat nanti mereka dapat melihat Indonesia dari luar kotak, melihat Indonesia dari sudut pandang bereda. Jika selama ini mereka melihat Indonesia dari dalam karena mereka berada di Indonesia, suatu saat saya ingin mereka melihat Indonesia dari luar, karena mereka sedang diluar Indonesia. Saya ingin anak – anak saya berangkat ke luar negeri untuk belajar, dan kembali lagi ke Indonesia untuk memberikan kisah mereka yang inspiratif  kepada semua orang yang mereka temui di Indonesia, agar akhirnya semua orang terinspirasi. Itulah impian terselubung saya.
            Maka jika pada akhirnya kemudian saya dikatakan money oriented karena saya menanyakan surat tugas saya untuk membimbing mereka, Ego yang telah saya usir itupun dengan pe-de nya datang lagi. Saya yang sudah berdarah – darah (lebay pol) –karena disebut money oriented- karena ternyata masih harus menghadapi musuh bebuyutan saya yang ternyata kembali.
            Akhirnya airmata saya runtuh juga, menetes satu – satu juga. Hati saya sakit luar biasa. Dengan segenap tenaga saya berusaha menjadi pembimbing yang baik, meskipun saya bukan english lecturer. Akhirnya terbayang apa yang pernah saya lakukan selama ini, tidak hanya periode ini saya membimbing mereka, jika saja saya money oriented, saya tidak akan membelikan mereka reward dari kantong saya sendiri. Saya tidak akan datang malam – malam ke kampus dan akan meng-klaim kan lembur.
Bahkan beberapa tahun sebelumnya saya sudah terjun, melarutkan diri untuk gerilya mencari bibit yang bisa dibanggakan kelak. Saya sudah memulai dari dulu. Bahkan untuk sebuah english competition, saya tidak meminta institusi untuk mendaftarkan mereka, bahkan minta mendatangkan pelatih pun saya enggan. Saya tidak mau mereka dituntut harus juara karena kampus sudah mengeluarkan uang banyak untuk pelatih. Maka jika tuntutan itu yang ada di fikiran mereka, tujuan saya akan sangat terganggu. Karena tujuan saya adalah mereka tahu jika diluar sana ada banyak hal yang bisa diraih, saya ingin mereka open minded. Itu tujuan utama saya. Maka saya memilih  memberikan mereka uang untuk mendaftarkan diri mereka. Saya masih ingat kata-kata saya ketika mereka pamit mau berangkat, “Masalah juara 1, 2, 3,  buat saya itu hanya sekedar angka yang tidak ada artinya. Yang penting kalian berangkat. Show off, pamer kemampuan disana. Kalian berangkat saja saya sungguh sudah bangga luar biasa” dan ketika beberapa jam setelah berangkat mereka mengabarkan dengan meminta maaf kepada saya “Ibu, Maaf, perjuangan kami hanya sampai di semifinal”. Airmata saya jatuh mendengar nya, bukan karena airmata kecewa, tapi sungguh airmata haru dan bangga. Jika saya mau, jika saya money oriented, saya akan memita bayaran hari itu juga. Meminta reward atas apa yang sudah saya lakukan. Tapi saya masih waras, masih memiliki pikiran yang jernih.
            Saya sungguh ingin menutup kisah itu, biarlah cukup untuk konsumsi saya dan mahasiswa yang tahu. Toh waktu itu saya juga tidak minta bayaran uang. Buat saya apa yang diraih mahasiswa saya waktu itu adalah bayaran termahal yang pernah saya terima.
            Jadi meskipun saya berdarah –darah, ego tidak boleh menang kali ini. Karena saya yakin saya akan menerima bayaran yang lebih mahal nanti atas darah saya yang mengucur deras, sederas airmata saya. Saya memilih bertahan, untuk tetap bertemu dengan mahasiswa saya, anak – anak saya, berlatih dengan mereka, saya tidak akan meninggalkan passion saya teronggok tidak terpakai. Karena tidak semua dapat diukur dengan uang.