About Me

My photo
Malang, East Java, Indonesia
love listening to music every morning, reading some books,articles (when having enough time) and watching movies.Enjoy writing short stories, novels, with a cup of cappucino and chocolate. Love the beach very much.

Tuesday, January 28, 2014

Bayaran Termahal Yang Pernah Saya Terima


Foggy Morning, 05:49
Wednesday, 29 January 2014

            Saya baru saja berfikir tentang ego, ego dimana dia menuntut saya untuk membuat sesuatu untuk aktualisasi diri saya. Contoh simpel, saya membimbing mahasiswa untuk mencintai bahasa inggris, saya enjoy melakukan hal itu. Dan ada memang sisi lain dari diri ini minta untuk diakui, bahwa sayalah yang membimbing mereka, bahwa sayalah yang memotivasi mereka. Saya baru berfikir, jika pengakuan itu tidak segera ada, saya akan berhenti melakukan semua pembimbingan ini. Paling tidak itulah sekilas dialog hati saya.
            Hari berikutnya, saya tertegun ketika melihat mereka, anak – anak saya, mahasiswa latihan. Saya tahu mereka berusaha berbicara dalam bahasa inggris dengan susah sekali, meskipun mereka terbata – bata, saya appreciate dengan apa yang mereka kerjakan. Saya tahu seharusnya mereka sedang libur semester, tapi mereka masih semangat datang ke kampus setiap tiga hari dalam seminggu. Tanpa paksaan, itulah yang tergambar diwajah mereka. Lama saya menatap mereka dalam diam.
            Ego saya pun menciut, semakin terpojok disudut ruang sempit hati saya, maka saya berkata kepada sang-ego, “Tidak seharusnya kamu menuntut sesuatu kepadaku. Aku tidak bodoh untuk mengorbankan semangat mereka hanya untuk menuruti kamu!!!! Dan tidak akan pernah aku lakukan!!!”
Dan akhirnya, bergaining ini berakhir. Dan sayalah pemenangnya. Dan dengan perasaan entheng, saya kembali melihat anak-anak latihan dengan tekun, berusaha menyisipkan motivasi di setiap pertemuan dengan mereka. Sekali lagi saya menikmatinya. Semangat mereka ini harus ada yang menjaga, saya tau ini semua adalah benih yang sedang saya semai, saya harus menjaganya agar tetap tumbuh, saya harus memupuknya sampai nanti saya panen raya. Maka sebisa mungkin saya mulai memberi reward atas semangat yang diperlihatkan oleh mereka.
            Saya memiliki impian terselubung yang saya titipkan kepada mereka, saya ingin suatu saat nanti mereka dapat melihat Indonesia dari luar kotak, melihat Indonesia dari sudut pandang bereda. Jika selama ini mereka melihat Indonesia dari dalam karena mereka berada di Indonesia, suatu saat saya ingin mereka melihat Indonesia dari luar, karena mereka sedang diluar Indonesia. Saya ingin anak – anak saya berangkat ke luar negeri untuk belajar, dan kembali lagi ke Indonesia untuk memberikan kisah mereka yang inspiratif  kepada semua orang yang mereka temui di Indonesia, agar akhirnya semua orang terinspirasi. Itulah impian terselubung saya.
            Maka jika pada akhirnya kemudian saya dikatakan money oriented karena saya menanyakan surat tugas saya untuk membimbing mereka, Ego yang telah saya usir itupun dengan pe-de nya datang lagi. Saya yang sudah berdarah – darah (lebay pol) –karena disebut money oriented- karena ternyata masih harus menghadapi musuh bebuyutan saya yang ternyata kembali.
            Akhirnya airmata saya runtuh juga, menetes satu – satu juga. Hati saya sakit luar biasa. Dengan segenap tenaga saya berusaha menjadi pembimbing yang baik, meskipun saya bukan english lecturer. Akhirnya terbayang apa yang pernah saya lakukan selama ini, tidak hanya periode ini saya membimbing mereka, jika saja saya money oriented, saya tidak akan membelikan mereka reward dari kantong saya sendiri. Saya tidak akan datang malam – malam ke kampus dan akan meng-klaim kan lembur.
Bahkan beberapa tahun sebelumnya saya sudah terjun, melarutkan diri untuk gerilya mencari bibit yang bisa dibanggakan kelak. Saya sudah memulai dari dulu. Bahkan untuk sebuah english competition, saya tidak meminta institusi untuk mendaftarkan mereka, bahkan minta mendatangkan pelatih pun saya enggan. Saya tidak mau mereka dituntut harus juara karena kampus sudah mengeluarkan uang banyak untuk pelatih. Maka jika tuntutan itu yang ada di fikiran mereka, tujuan saya akan sangat terganggu. Karena tujuan saya adalah mereka tahu jika diluar sana ada banyak hal yang bisa diraih, saya ingin mereka open minded. Itu tujuan utama saya. Maka saya memilih  memberikan mereka uang untuk mendaftarkan diri mereka. Saya masih ingat kata-kata saya ketika mereka pamit mau berangkat, “Masalah juara 1, 2, 3,  buat saya itu hanya sekedar angka yang tidak ada artinya. Yang penting kalian berangkat. Show off, pamer kemampuan disana. Kalian berangkat saja saya sungguh sudah bangga luar biasa” dan ketika beberapa jam setelah berangkat mereka mengabarkan dengan meminta maaf kepada saya “Ibu, Maaf, perjuangan kami hanya sampai di semifinal”. Airmata saya jatuh mendengar nya, bukan karena airmata kecewa, tapi sungguh airmata haru dan bangga. Jika saya mau, jika saya money oriented, saya akan memita bayaran hari itu juga. Meminta reward atas apa yang sudah saya lakukan. Tapi saya masih waras, masih memiliki pikiran yang jernih.
            Saya sungguh ingin menutup kisah itu, biarlah cukup untuk konsumsi saya dan mahasiswa yang tahu. Toh waktu itu saya juga tidak minta bayaran uang. Buat saya apa yang diraih mahasiswa saya waktu itu adalah bayaran termahal yang pernah saya terima.
            Jadi meskipun saya berdarah –darah, ego tidak boleh menang kali ini. Karena saya yakin saya akan menerima bayaran yang lebih mahal nanti atas darah saya yang mengucur deras, sederas airmata saya. Saya memilih bertahan, untuk tetap bertemu dengan mahasiswa saya, anak – anak saya, berlatih dengan mereka, saya tidak akan meninggalkan passion saya teronggok tidak terpakai. Karena tidak semua dapat diukur dengan uang.

No comments:

Post a Comment