About Me

My photo
Malang, East Java, Indonesia
love listening to music every morning, reading some books,articles (when having enough time) and watching movies.Enjoy writing short stories, novels, with a cup of cappucino and chocolate. Love the beach very much.

Monday, February 3, 2014

Sekali Lagi, Semoga Masyarakat Menjadi Paham


Sebagai tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di negeri tercinta ini, saya selalu bersinggungan langsung dengan pasien. Banyak hal yang harus kami jelaskan kepada mereka tentang program – program pemerintah yang sedang dijalankan. Mulai dari jaman Jamkesmas, ASKES, Jampersal, Jamkesda hingga program paling anyar, JKN. Kami selalu menjadi “jubir tidak resmi pemerintah” untuk mereka para pasien dan keluarga. Sibuk memberikan penjelasan syarat yang harus dilengkapi ketika mereka mau menggunakan fasilitas JKN, sibuk menjelaskan hal – hal yang ter-cover  oleh program terbaru pemerintah ini. Namun ada hal yang paling berat yang saya rasakan ketika menjalankan tugas sebagai jubir ini, adalah ketika kami harus menjelaskan kepada mereka bahwa ada beberapa tindakan medis atau beberapa obat yang tidak menjadi tanggungan JKN. Lebih berat lagi ketika kami tahu hal yang tidak tertanggung tersebut adalah hal yang harus ada, bahkan tidak jarang bahwa tindakan atau obat itu adalah satu – satunya harapan untuk pasien tersebut. Lalu bagaimana kami harus menjelaskan semuanya, kadang perasaan empati ini menjadi simpati yang tak berujung.
Saya bukannya anti dengan program JKN ini, saya juga tidak pesimis dengan program ini, namun juga tidak optimis. Sebagai tenaga kesehatan saya hanya menjalankan sembari mengevaluasi proses nya, meskipun evaluasi saya sebatas sudut pandang yang tidak seluas sang pembuat kebijakan.
Saya hanya miris, ketika banyak hal dijanjikan kepada pasien yang berobat, mereka harus membayar premi setiap bulan dengan janji bahwa semua akan ditanggung oleh pemerintah, namun pada kenyataannya penanggungan itu selalu dibatasi. Disesuaikan dengan kelas-kelas yang dipilih. Belum lagi sistem rujukan yang saya rasa banyak error nya.
Beberapa waktu yang di group WA saya rame membahas tentang JKN. Karena kami adalah para perawat yang ada di instansi pelayanan kesehatan, maka dengan cepat kami merasa ada yang belum dapat dilakukan dalam program ini. Akhirnya program ini menjadi terkesan dipaksakan. Salah satu yang kami bahas di group waktu itu adalah sistem rujukan. Dengan adanya program ini, pasien tidak dapat langsung berobat sendiri ke Rumah Sakit Umum Daerah. Sang pasien harus melalui tahap rujukan pertama , kedua dan selanjutnya. Mereka harus berobat ke PKM terlebih dahulu. Jika saja penyakit yang diderita sang pasien tidak dapat ditangani oleh PKM, maka barulah sang pasien dirujuk pada Rumah Sakit tipe B di daerahnya.
Masalah muncul ketika BPJS, sebagai pihak penanggung, mengeluarkan peraturan bahwa tidak semua kasus dapat di rujuk ke Rumah Sakit Umum, setidaknya ada sekitar 140 kasus yang harus dapat di tangani oleh PKM. Padahal, tidak semua PKM memiliki fasilitas untuk ke 140 kasus yang di tunjuk oleh BPJS. Lalu, bagaimanakah nasib para pasien?, berobat ke PKM fasilitas tidak ada, kemudian jika nekat ke Rumah Sakit Umum pasti akan ditolak, karena RSU beranggapan bahwa kasus yang diderita sang pasien cukup ditangani oleh PKM. Kebijakan macam apa, jika seperti ini. Kemana sang pasien harus menuntut hak nya yang seharusnya diberikan.
Bayangkan saja, jika sang pasien adalah pasien dari keluarga pas-pas an yang tidak terjangkau oleh Jamkesmas –karena pada kenyataannya, program Jamkesmas tidak tepat sasaran-, sang pasien telah menyisihkan penghasilannya untuk ikut serta dalam proggram JKN ini. Tapi ketika sang pasien tinggal mendapatkan hak nya, dia tidak tahu harus memintanya kepada siapa.
Jika seperti ini pelayanan yang dijanjikan, maka mengapa masyarakat harus ikut program ini. Bahkan pada tahun 2019 diwajibkan seluruh masyarakat wajib mengikuti program ini. Saya sanksi jika pelayanan yang diberikan masih seperti ini, maka masyarakat menjadi tidak memiliki pilihan untuk menjadi sehat.
Mengapa mereka harus membayar premi setiap bulan jika obat dan tindakan dibatasi?, lebih baik mereka menabung sendiri, merencanakan sendiri jaminan kesehatannya, sehingga jika pun nanti mereka sakit, mereka bebas memilih harus pergi kemana untuk memperoleh pelayanan kesehatan tanpa banyak batasan yang di dapat peserta JKN.
Jadi semakin semrawut nya program ini, tidak salah ika masyarakat mencari celah enaknya. Satu kali saya pernah mendengar percakapan keluarga pasien, mereka sedang membahas tentang JKN. Samar saya mendengar “Oh, yo gak opo – opo, saiki mbayar selawe ewu, sing penting iso gratis mari iku. Perkoro wulan ngarep gak mbayar, yo gak opo-opo”
Oh gak apa-apa sekarang bayar dua puluh lima ribu, yang penting bisa gratis habis ini. Masalah bulan depan tidak membayar ya tidak apa-apa.
Saya hanya tersenyum mendengar percakapan itu. Mereka sungguh tidak paham dengan program ini. Seharusnya sang pembuat kebijakan langsung mendengar hal – hal semacam ini, sehingga tidak lagi menyepelekan yang namanya sosialisasi.
            Atau percakapan yang saya kutip daricerita seorang teman, dimana dia menjelaskan program JKN ini kepada mbah nya, sebagai tenaga kesehatan yang baik, teman saya ingin mbah nya ikut di program ini. Dan kemudia sang mbah menyakan ulang bahwa dia harus membayar premi setiap bulan, dan teman saya meng iyakan. Tanpa diduga sang mbah memberikan pertanyaan tambahan yang tidak disangka-sangka.
Lah mengko lek ora loro, iso dijupuk tho duite sing dibayarne ben wulan?”
Nanti jika tidak sakit, bisa kan diambil uang yang di bayarkan setiap bulan itu??
Mbah – mbah yang cerdas.

No comments:

Post a Comment