05.16 am, in the morning.
Pagi – pagi suasana masih
mendung, saya bergegas bikin cappucino
–meskipun saya tahu perut saya akan terasa sebah karena belum sarapan-, pasang earphone dan nyalain laptop. Entahlah
tiba – tiba terlintas beberapa hal di otak saya dan harus segera ditulis, kalau
tidak ?? hmmmm bisa gawat...!!!! ide itu akan kabur. Sepertinya passion saya
menulis akhir – akhir ini perlahan tumbuh kembali. Yang biasanya saya hanya
menulis materi perkuliahan atau sekedar membuat penelitian, tapi sekarang ada
beberapa project yang sedang saya kerjakan terkait dengan tulis – menulis, woww
kemajuan...!!!!
Sekali lagi tentang menulis,
tentang passion saya yang tiba-tiba muncul. Saya mencoba menganalisa dari
beberapa aspek. Pertama mungkin saja karena sekarang lagi tidak punya kerjaan,
alias menjadi pengangguran di kampus. Karena pada periode ini saya tidak lagi
menjabat apapun dikampus, sehingga punya banyak waktu luang untuk melakukan hal
baru lainnya. Di tambah lagi mahasiswa lagi masa libur semester jadi waktu saya
semakin banyak luangnya, sayang jika tidak termanfaatkan dengan baik.
Tapi ngomongin tentang
mereka, mahasiswa, saya jadi kangen sekali dengan mereka. Kangen bertemu,
kangen ngobrol. Ya saya kangen datang ke kelas mereka, kangen dengan suasana
belajar di kelas. Kangen dengan rame nya mereka waktu saya jelasin materi, atau
guyonan mereka yang mleset-mlesetin beberapa istilah yang saya pakai. Dan
mereka tidak akan berhenti kalau jumlah plesetan-nya belum lima kali.
Kangen mereka waktu mereka protes ketika saya memberikan kasus yang harus
dianalisa dan di presentasikan di depan kelas hari itu juga. Saya tahu mereka
harus turun kebawah, ke perpustakaan dan kembali ke kelas dengan memondong
Brunner and Suddarth di dekapan mereka, sedangkan teman lainnya akan
menggendong NANDA, NOC dan NIC. Dan jika itu sudah terjadi, maka saya akan
tersenyum dan berkata sok kalem “Sudah, dikerjain aja”, iya sok kalem, karena
suara saya sebenarnya tidak sekalem itu.
Saya jadi teringat masa saya
kuliah dahulu, dimana setiap hari selalu ada kelas tutorial dan didampingi oleh
satu dosen pembimbing. Di kelas tutorial saya diwajibkan untuk menganalisa
kasus yang sudah dibikin. Selain itu saya harus menjawab pertnyaan yang ada.
Kasus tersebut sudah ada di silabus. Jadi tidak jarang sebelum kelas tutorial
saya dan beberapa teman pergi ke perpustakaan dan menganalisa kasus itu bareng
– bareng tanpa di dampingi kakak senior apalagi dosen. Saya dan teman – teman
berfikir bahwa, ketika kita sudah menganlisa lebih dahulu kasus tersebut, maka
ketika saat tutorial tiba kita hanya tinggal mempresentasikan di depan dosen
pembimbing lebih mudah, lebih siap dan akan lebih nyambung dengan kasus yang
ada. Karena sebelum dibahas kita sudah membahasnya terlebih dahulu, sudah
membaca konsepnya. Jadi pasti nyambung!!
Itu yang saya dan teman –
teman saya lakukan dahulu, lima tahun yang lalu. Tapi hari ini sangat jauh
berbeda. Ketika saya mencoba mengadopsi sistem pengajaran yang diterapkan
kampus saya dahulu. Dengan segala daya upaya saya membuatsebuah kasus untuk
saya tuliskan di silabus. Saya baru menyadari bahwa betapa membuat sebuah kasus
itu tidak mudah, tidak boleh asal dan saya harus berfikir secara induktif. Saya
membuka banyak buku refference di meja saya, hanya untuk sebuah kasus. Setelah
kasus itu selesai saya uji realabilitasnya ke teman saya minimal teman satu
departement keilmuan dan setelah saya mendapat jawaban yang sama saya akan
menuliskan kasus tersebut di silabus mata kuliah saya.
Oke. Kasus sudah saya include-kan di silabus plus jadwal Problem Based Learning –nya juga sudah
terjadwal rapi disana bahkan konsep dasar untuk analisa kasus juga ada. Kepada
teman saya satu ruangan, dengan bangga saya memamerkan silabus plus sedikit
makalah dan metode perkuliahan di mata kuliah yang saya ampu. Saya bendel rapi
dan saya namai dengan Guide Book of Imun-Hematology Nursing.
Saya sangat berharap mahasiswa saya aktif dan tidak bosan dengan metoda yang
saya pakai. Tapi seorang teman saya dengan bercanda mengatakan “Alahhhh...paling
juga gak dibaca sama mahasiswa”, saya tahu dia hanya bercanda. Saya
bengong, saya hampir tidak pernah berfikir seperti itu, selama proses pembuatan
guide book, saya selalu berfikir
positif, karena memang guide book saya
tebal sekali, sekitar hampir 75 halaman. Akhirnya saya juga berfikir sama,
jangan – jangan ntar gak dibaca. Tapi sekali lagi saya berfikir positif
terhadap mahasiswa saya. Dengan penuh semangat saya balas, “Ok, let’s see ntar yah, mahasiswa saya kelas
ini beda, mereka aktif semua, kebanyakan mereka smart”. Sampai detik itu saya masih possitive thinking.
Waktu perkulihan yang sangat saya tunggu – tunggu pun
akhirnya dimulai. Saya menjelaskan segala peraturan mata kuliah saya di depan
kelas. Bahwa ada beberapa tugas yang harus mereka kerjakan sesuai deadline.
Jika ada yang ngumpulin telat maka tidak akan saya nilai. Bahwa tidak boleh copy-paste, jika ada yang melakukannya
maka saya akan mengembalikan ke mahasiswa yang bersangkutan dan nilai akan 0.
Bahwa ada kasus yang harus dianalisa di beberapa pertemuan dan sudah terjadwal
dengan kasus sudah ada di silabus. Bahwa ada presentasi dua kali yang harus
mereka lakukan, ada dua kali role play dan ada beberapa praktikum di laboratorium
yang wajib dihadiri 100%.
Dengan sudut pandangan kecil, saya menyapu wajah mereka yang melongo,
seolah mau protes. Jadi sebelum mereka protes, saya bilang dengan lantang
didepan kelas “Kelas saya kelas bebas, waktu kuliah saya, boleh makan, boleh
minum, boleh tidur, boleh denger musik tapi pakai earphone atau headset, boleh
gak dengerin saya di depan. Tapi aturan di silabus tidak boleh dilanggar.
Tenang aja, saya gak akan cerewet nanyain tugas, klo ngumpulin ya ada nilainya
klo gak ngumpulin ya sudah. That’s all,
simple right”
Hari – hari berjalan begitu
cepat, dan ketika sampai di pertemuan
perkuliahan dengan metode analisa kasus, dengan pede luar biasa saya bertanya
ke mereka apakah kasus yang saya tuliskan di silabus sudah di analisa. And see what the answer they gave????
“Oh ya ada kasus ta bu...?? yang mana ya bu???”
JEEEDDDIIIIIEEEENGGGGGGGGGGG.......rasanya seperti jatuh dari langit,
-lebay sedikit-. What? Ada kasus bu..? yang mana???. Ya ampunnnnnnn apa silabus
itu gak dibaca, apa waktu saya ngomong didepan itu mereka gak denger. Sakit
hati tak terkira rasanya.
Becandaan teman saya kembali terngiang “Alahhhh...paling juga gak dibaca
sama mahasiswa”, Saya jadi terbayang
saat saya kuliah dahulu, dahulu saja bla bla bla, mahasiswa sekarang apaan ???
bla bla bla.
Akhirnya saya sadar, saya gak boleh membandingkan dahulu
dan sekarang. Yang harus dibenahi adalah bagaimana mereka memahami sebuah
materi tanpa merasa dipaksa untuk paham. Dan disitulah letak susahnya. Padahal
menurut saya sendiri, saya sudah sanagt berusaha agar ketika masuk ke dalam
kelas mereka tidak bosan. Kadang saya nge-game tanpa menyampaikan materi di
depan kelas, karena materi itulah game saya. Akhirnya waktu kelas selanjutnya
mereka minta game – game yang lain.
Dan saya sangat menyadari bahwa pekerjaan ini tidak mudah.
Akhirnya hal ini membuat saya curhat kepada dosen PA saya ketika masih kuliah
–karena memang kita dekat-. Saya mengeluh ke beliau tentang repotnya menjadi
dosen pemula, dosen yang sebenarnya masih harus menjadi assisten dosen. Dan
saya nyelentuk, enakan jadi mahasiswa daripada jadi dosen. Dan beliau menjawab
“Baru tahu ya..?? Kemudian mahasiswa tidak tahu apa yang kita lakukan buat
mereka”
Saya hanya mendengarkan dan berkata lemah,”Bunda Bener”.
But, tidak semua hal menyedihkan, adakalanya saya bangga dengan
mahasiswa saya. Bangga ketika muncul bebera pertanyaan kritis waktu di depan
kelas, bangga ketika mereka bisa menghandle pasien di tempat mereka praktek.
Bangga ketika ada CI Klinik yang laporan bahwa mereka bagus, sudah seperti
karyawan. Bangga ketika mencoba mengikuti beberapa competition di luar sana
–entah juara atau tidak, mereka sudah menjadi kebanggan saya-. Bangga ketika
mereka mengenakan toga. Dan akhirnya mereka mulai berjuang bersama – sama saya.
Bagaimanapun mereka adalah penerus saya, penerus profesi
saya. Penerus ini harus lebih baik dari saya, jika penerus ini gak lebih baik,
maka sayalah yang gagal. Jika saya gagal maka profesi ini tidak akan berjalan
maju. Profesi ini akan berjalan ditempat. Padahal profesi ini masih berjuang
untuk mendapatkan paung hukum diatasnya.
Saya ingin kebanggan saya atas mereka melahirkan pejuang
profesi keperawatan di masa yang akan datang. Dan saya akan duduk memandang
mereka dan berkata “Wes le, wes nduk,
saiki wayah mu”
No comments:
Post a Comment