About Me

My photo
Malang, East Java, Indonesia
love listening to music every morning, reading some books,articles (when having enough time) and watching movies.Enjoy writing short stories, novels, with a cup of cappucino and chocolate. Love the beach very much.

Monday, January 20, 2014

A Cup of Cappucino


05.16 am, in the morning.
          Pagi – pagi suasana masih mendung, saya bergegas bikin cappucino –meskipun saya tahu perut saya akan terasa sebah karena belum sarapan-, pasang earphone dan nyalain laptop. Entahlah tiba – tiba terlintas beberapa hal di otak saya dan harus segera ditulis, kalau tidak ?? hmmmm bisa gawat...!!!! ide itu akan kabur. Sepertinya passion saya menulis akhir – akhir ini perlahan tumbuh kembali. Yang biasanya saya hanya menulis materi perkuliahan atau sekedar membuat penelitian, tapi sekarang ada beberapa project yang sedang saya kerjakan terkait dengan tulis – menulis, woww kemajuan...!!!!
          Sekali lagi tentang menulis, tentang passion saya yang tiba-tiba muncul. Saya mencoba menganalisa dari beberapa aspek. Pertama mungkin saja karena sekarang lagi tidak punya kerjaan, alias menjadi pengangguran di kampus. Karena pada periode ini saya tidak lagi menjabat apapun dikampus, sehingga punya banyak waktu luang untuk melakukan hal baru lainnya. Di tambah lagi mahasiswa lagi masa libur semester jadi waktu saya semakin banyak luangnya, sayang jika tidak termanfaatkan dengan baik.
          Tapi ngomongin tentang mereka, mahasiswa, saya jadi kangen sekali dengan mereka. Kangen bertemu, kangen ngobrol. Ya saya kangen datang ke kelas mereka, kangen dengan suasana belajar di kelas. Kangen dengan rame nya mereka waktu saya jelasin materi, atau guyonan mereka yang mleset-mlesetin beberapa istilah yang saya pakai. Dan mereka tidak akan berhenti kalau jumlah plesetan-nya belum lima kali.
Kangen mereka waktu mereka protes ketika saya memberikan kasus yang harus dianalisa dan di presentasikan di depan kelas hari itu juga. Saya tahu mereka harus turun kebawah, ke perpustakaan dan kembali ke kelas dengan memondong Brunner and Suddarth di dekapan mereka, sedangkan teman lainnya akan menggendong NANDA, NOC dan NIC. Dan jika itu sudah terjadi, maka saya akan tersenyum dan berkata sok kalem “Sudah, dikerjain aja”, iya sok kalem, karena suara saya sebenarnya tidak sekalem itu.
          Saya jadi teringat masa saya kuliah dahulu, dimana setiap hari selalu ada kelas tutorial dan didampingi oleh satu dosen pembimbing. Di kelas tutorial saya diwajibkan untuk menganalisa kasus yang sudah dibikin. Selain itu saya harus menjawab pertnyaan yang ada. Kasus tersebut sudah ada di silabus. Jadi tidak jarang sebelum kelas tutorial saya dan beberapa teman pergi ke perpustakaan dan menganalisa kasus itu bareng – bareng tanpa di dampingi kakak senior apalagi dosen. Saya dan teman – teman berfikir bahwa, ketika kita sudah menganlisa lebih dahulu kasus tersebut, maka ketika saat tutorial tiba kita hanya tinggal mempresentasikan di depan dosen pembimbing lebih mudah, lebih siap dan akan lebih nyambung dengan kasus yang ada. Karena sebelum dibahas kita sudah membahasnya terlebih dahulu, sudah membaca konsepnya. Jadi pasti nyambung!!
          Itu yang saya dan teman – teman saya lakukan dahulu, lima tahun yang lalu. Tapi hari ini sangat jauh berbeda. Ketika saya mencoba mengadopsi sistem pengajaran yang diterapkan kampus saya dahulu. Dengan segala daya upaya saya membuatsebuah kasus untuk saya tuliskan di silabus. Saya baru menyadari bahwa betapa membuat sebuah kasus itu tidak mudah, tidak boleh asal dan saya harus berfikir secara induktif. Saya membuka banyak buku refference di meja saya, hanya untuk sebuah kasus. Setelah kasus itu selesai saya uji realabilitasnya ke teman saya minimal teman satu departement keilmuan dan setelah saya mendapat jawaban yang sama saya akan menuliskan kasus tersebut di silabus mata kuliah saya.
          Oke. Kasus sudah saya include-kan di silabus plus jadwal Problem Based Learning –nya juga sudah terjadwal rapi disana bahkan konsep dasar untuk analisa kasus juga ada. Kepada teman saya satu ruangan, dengan bangga saya memamerkan silabus plus sedikit makalah dan metode perkuliahan di mata kuliah yang saya ampu. Saya bendel rapi dan saya namai dengan Guide Book of Imun-Hematology Nursing. Saya sangat berharap mahasiswa saya aktif dan tidak bosan dengan metoda yang saya pakai. Tapi seorang teman saya dengan bercanda mengatakan “Alahhhh...paling juga gak dibaca sama mahasiswa”, saya tahu dia hanya bercanda. Saya bengong, saya hampir tidak pernah berfikir seperti itu, selama proses pembuatan guide book, saya selalu berfikir positif, karena memang guide book saya tebal sekali, sekitar hampir 75 halaman. Akhirnya saya juga berfikir sama, jangan – jangan ntar gak dibaca. Tapi sekali lagi saya berfikir positif terhadap mahasiswa saya. Dengan penuh semangat saya balas, “Ok, let’s see ntar yah, mahasiswa saya kelas ini beda, mereka aktif semua, kebanyakan mereka smart”. Sampai detik itu saya masih possitive thinking.
          Waktu perkulihan yang sangat saya tunggu – tunggu pun akhirnya dimulai. Saya menjelaskan segala peraturan mata kuliah saya di depan kelas. Bahwa ada beberapa tugas yang harus mereka kerjakan sesuai deadline. Jika ada yang ngumpulin telat maka tidak akan saya nilai. Bahwa tidak boleh copy-paste, jika ada yang melakukannya maka saya akan mengembalikan ke mahasiswa yang bersangkutan dan nilai akan 0. Bahwa ada kasus yang harus dianalisa di beberapa pertemuan dan sudah terjadwal dengan kasus sudah ada di silabus. Bahwa ada presentasi dua kali yang harus mereka lakukan, ada dua kali role play dan ada beberapa praktikum di laboratorium yang wajib dihadiri 100%.
Dengan sudut pandangan kecil, saya menyapu wajah mereka yang melongo, seolah mau protes. Jadi sebelum mereka protes, saya bilang dengan lantang didepan kelas “Kelas saya kelas bebas, waktu kuliah saya, boleh makan, boleh minum, boleh tidur, boleh denger musik tapi pakai earphone atau headset, boleh gak dengerin saya di depan. Tapi aturan di silabus tidak boleh dilanggar. Tenang aja, saya gak akan cerewet nanyain tugas, klo ngumpulin ya ada nilainya klo gak ngumpulin ya sudah. That’s all, simple right
          Hari – hari berjalan begitu cepat, dan  ketika sampai di pertemuan perkuliahan dengan metode analisa kasus, dengan pede luar biasa saya bertanya ke mereka apakah kasus yang saya tuliskan di silabus sudah di analisa. And see what the answer they gave????
“Oh ya ada kasus ta bu...?? yang mana ya bu???”
JEEEDDDIIIIIEEEENGGGGGGGGGGG.......rasanya seperti jatuh dari langit, -lebay sedikit-. What? Ada kasus bu..? yang mana???. Ya ampunnnnnnn apa silabus itu gak dibaca, apa waktu saya ngomong didepan itu mereka gak denger. Sakit hati tak terkira rasanya.
Becandaan teman saya kembali terngiang “Alahhhh...paling juga gak dibaca sama mahasiswa”,  Saya jadi terbayang saat saya kuliah dahulu, dahulu saja bla bla bla, mahasiswa sekarang apaan ??? bla bla bla.
Akhirnya saya sadar, saya gak boleh membandingkan dahulu dan sekarang. Yang harus dibenahi adalah bagaimana mereka memahami sebuah materi tanpa merasa dipaksa untuk paham. Dan disitulah letak susahnya. Padahal menurut saya sendiri, saya sudah sanagt berusaha agar ketika masuk ke dalam kelas mereka tidak bosan. Kadang saya nge-game tanpa menyampaikan materi di depan kelas, karena materi itulah game saya. Akhirnya waktu kelas selanjutnya mereka minta game – game yang lain.
Dan saya sangat menyadari bahwa pekerjaan ini tidak mudah. Akhirnya hal ini membuat saya curhat kepada dosen PA saya ketika masih kuliah –karena memang kita dekat-. Saya mengeluh ke beliau tentang repotnya menjadi dosen pemula, dosen yang sebenarnya masih harus menjadi assisten dosen. Dan saya nyelentuk, enakan jadi mahasiswa daripada jadi dosen. Dan beliau menjawab “Baru tahu ya..?? Kemudian mahasiswa tidak tahu apa yang kita lakukan buat mereka”
Saya hanya mendengarkan dan berkata lemah,”Bunda Bener”.
          But, tidak semua hal  menyedihkan, adakalanya saya bangga dengan mahasiswa saya. Bangga ketika muncul bebera pertanyaan kritis waktu di depan kelas, bangga ketika mereka bisa menghandle pasien di tempat mereka praktek. Bangga ketika ada CI Klinik yang laporan bahwa mereka bagus, sudah seperti karyawan. Bangga ketika mencoba mengikuti beberapa competition di luar sana –entah juara atau tidak, mereka sudah menjadi kebanggan saya-. Bangga ketika mereka mengenakan toga. Dan akhirnya mereka mulai berjuang bersama – sama saya.
Bagaimanapun mereka adalah penerus saya, penerus profesi saya. Penerus ini harus lebih baik dari saya, jika penerus ini gak lebih baik, maka sayalah yang gagal. Jika saya gagal maka profesi ini tidak akan berjalan maju. Profesi ini akan berjalan ditempat. Padahal profesi ini masih berjuang untuk mendapatkan paung hukum diatasnya.
Saya ingin kebanggan saya atas mereka melahirkan pejuang profesi keperawatan di masa yang akan datang. Dan saya akan duduk memandang mereka dan berkata “Wes le, wes nduk, saiki wayah mu”

No comments:

Post a Comment